[JOI Weekend] How We Do Review

May 22, 2016 18:10
[JOI Weekend] How We Do Review

Bisa dibilang JOI Weekend kali ini adalah sebuah statement tentang bagaimana review di situs ini dibuat sekaligus introspeksi bagaimana penulis me-review karya yang menurut mereka cukup menarik untuk dibicarakan. Singkatnya, untuk nyaris 2000 kata ke depan kami akan ngeles tentang cara penulisan dan pengulasan kami.

Bayangkan seorang mekanik yang mengamati sebuah mesin mobil. Sang mekanik menilai kalau aki mobilnya sudah mulai usang dan menyarankan pemilik (atau siapapun yang membawa mobil itu untuk diamati) untuk menggantinya apabila sang pemilik mampu.

Sang pemilik mobil kemudian menganggap sang mekanik menghinanya. Dia merasa dianggap tidak becus dalam merawat mobil, memilih merek mobil, membuang waktu/uang untuk memakai mobil itu, dan segala penghinaan lainnya.

salahgueape

Sang mekanik tidak sekalipun menghina sang pemilik mobil, dia tidak meminta untuk berhenti mengemudikan mobil itu, dia hanya merasa performa aki tersebut sudah turun menurut pengalamannya sebagai mekanik.

Review sebuah produk kreatif kurang lebih berjalan seperti kasus di atas. Kami hanya memberi penilaian atas sebuah produk, dan sama sekali tidak memili niat untuk memuji atau menghina kalian karena memiliki opini tertentu pada produk tersebut. Kami sadar atau tidak, akan memberi penilaian yang akan dibebani oleh berbagai bias dan preferensi pribadi. Namun dengan segala beban tersebut kami berdedikasi untuk membuat review yang informatif, menghibur, dan enak dibaca.

Oleh karena itu artikel ini diharapkan dapat memberi kejelasan berbagai aspek, dari penulisan artikel review dan impresi kami seperti penggunaan skor, objektivitas, pembentukan impresi awal, dan tanggung jawab kami sebagai reviewer.

On Scoring and Objectivity

Alasan kami tidak menggunakan skor bisa dibilang ada dua, yang pertama adalah penggunaan skor, baik yang menggunakan angka atau huruf, sudah terlalu menopang persepsi tertentu berkat penggunaannya di sekolah. Walaupun skor 6/10 secara teknis memiliki arti “di atas rata-rata,” kita sudah terlalu terbiasa melihat skor semacam ini sebagai “jelek” atau “kurang cukup” berkat pengalaman edukasi kita dulu.

Yang kedua adalah sebuah konten kreatif nyaris tidak mungkin ditampung skala kualitasnya dalam bentuk kuantitatif. Angka sulit sekali mewakilkan kepuasan dan kekaguman seseorang pada suatu produk yang tiap orang akan memiliki cara dan respon yang berbeda saat mengonsumsinya; belum lagi tiap orang memiliki pandangan berbeda dalam pembobotan nilai (seperti yang sudah dijelaskan di paragraf sebelumnya.)

scoring is dumb

Oleh karena itu kami hanya bisa memberikan penilaian yang dibumbui banyak bias pribadi, karena objektivitas sendiri sebagai ideal sekali pun sangat sulit dicapai. Dalam reportase fakta pun sang reporter sendiri harus menentukan informasi yang dijadikan penekanan untuk pemberitaan, menentukan cara pembawaan beritanya, dan bahkan penggunaan bahasanya. Dengan kata lain dia harus menggunakan berbagai bias dan pengalaman pribadinya.

Review yang mencoba “objektif” memiliki kecenderungan untuk memiliki cara penulisan yang terbilang “robotik” atau dipenuhi dengan variasi kalimat “kalian mungkin menyukai atau tidak menyukai hal ini” yang jujur saja sangat tidak membantu dalam memberi penilaian. Objektifitas juga memiliki kelemahan karena memberikan kesempatan untuk ide yang tidak sepatutnya didukung (seperti “mitos” perubahan iklim atau “bahaya” vaksin) mendapat dukungan yang “adil.”

graphmuchwow

Ada grafik dan nomor, ini pasti penting!
Namun bisa saja pandangan kami di atas salah total. Bila kalian tahu cara membuat skala penilaian objektif untuk produk kreatif yang bisa diterima siapapun, tolong arahkan kami ke sana.

Sampai tiba waktunya sebuah metode penilaian tersebut ditemukan, kami hanya bisa mencoba memberi opini dan argumen yang (sebisa mungkin) bermutu mengenai kelebihan dan kekurangan sebuah seri, entah memuji karena memiliki karakter yang berkualitas, tema yang menarik, kualitas produksi yang spektakuler, ataupun penyutradaan yang kompeten. Begitu juga mengkritik sebuah seri yang kelewat tidak ambisius, memiliki pengaturan bujet yang buruk, dan dipenuhi karakter yang kelewat datar dan hanya menjual seiyuu di belakangnya.

Karena kami lebih mementingkan kejujuran dibandingkan objektifitas, kami merasa mengomunikasikan dengan baik kenapa kami menyukai dan membenci sebuah seri jauh lebih berguna daripada memberikan “nilai” yang tiap orang memiliki banyak sekali persepsi atas bobot nilai tersebut.

On using 3 episode impression

Kenapa kami menggunakan 3 episode untuk membentuk impresi? Itu karena kami percaya sebuah anime yang berkualitas mampu memberi impresi yang kuat dari awal. Satu episode anime pada umumnya menghabiskan sekitar 24 menit, sehingga 3 episode akan memerlukan waktu satu jam untuk dikonsumsi dan dibentuk impresi awalnya. Tentu saja ada argumen bahwa tidak pantas sebuah anime yang memiliki cerita ataupun build-up panjang dibentuk impresinya “hanya” dengan 3 episode. Izinkan kami memberikan kontra-argumennya:

Apabila dalam satu jam sebuah anime tidak mampu melakukan satupun hal yang berarti, entah dengan mengenalkan karakter yang menarik, memiliki kualitas produksi yang kompeten, atau menceritakan tema atau konsep yang menarik, tolong jangan kaget bila hal itu menimbulkan impresi awal yang buruk ke reviewer.

pointbeing

Kami merasa kesalahpahaman yang sering terjadi dalam penggunaan format impresi tiga episode ini adalah sebagai berikut:

  1. Mengasumsikan bahwa kami berhenti menonton sebuah seri bila kami memberikan penilaian negatif.

Kami akan tetap menonton sebuah seri dan melanjutkan penilaian dengan membuat mid atau end-season review bila anime itu memang patut dibicarakan lebih lanjut.

  1. Menganggap “Verdict” sebagai perintah ke pembaca dan bukan penilaian pribadi reviewer dari impresi satu jam pertama sebuah anime.

3 Episode Rule hanyalah metode pembentukan impresi awal dari kami. Beberapa pihak sayangnya melihat impresi awal sebagai penilaian final dari sebuah seri. Selalu ada kemungkinan impresi awal kami salah dan perubahan impresi entah ke posisi negatif maupun positif bisa saja terjadi ke depannya. Kami rasa memberikan satu jam waktu kami untuk membentuk penilaian awal dan mengumpulkan materi untuk dibicarakan sudah cukup adil, sehingga 3 Episode “Rule” ini kemungkinan besar akan terus kami gunakan untuk membentuk impresi awal.

The Duty of a Reviewer

Jadi apa peran seorang reviewer atau kritikus bila kualitas dari sebuah produk kreatif akan diterima secara berbeda tergantung dengan pribadi yang mengkonsumsinya? Apa yang membuat opini mereka memiliki bobot dan pantas dibaca dibandingkan jutaan opini lainnya pada sebuah produk?

Reviewer pada dasarnya adalah seorang jurnalis. Mereka sama-sama meliput sebuah fenomena dan secara teknis sebuah produk kreatif seperti seri animemanga dan game terhitung sebagai fenomena.  Tugas reviewer pada sebuah fenomena yang banyak dibebani subjektivitas ini adalah memberikan sebuah sudut pandang atas fenomena tersebut dan memberikan argumen yang bermutu untuk mendukung sudut pandang itu.

objecobjecobjection

Reviewer yang baik harus mampu mengomunikasikan dengan baik kenapa sang reviewer menyukai atau membenci sebuah produk. Dia harus bisa menjelaskan kenapa sebuah konten berhasil atau gagal. Dia diharapkan bisa menunjukkan berbagai trik dan metode pembuatan produk kreatif itu (dalam konteks anime, bisa dibilang aspek seperti sinematografi dan timing) yang kemungkinan besar tidak disadari penonton pada umumnya.

Diharapkan dengan berbagai informasi tersebut, para pembaca dapat mengetahui lebih jelas mengapa dia menikmati atau membenci aspek tertentu pada sebuah seri dan mampu memberikan argumen yang lebih bermutu saat mendiskusikan seri tertentu.

In Summary

Kami tidak akan pernah bisa melarang ataupun memaksa kalian untuk menikmati atau membenci sebuah seri, karena satu-satunya pihak yang dapat mengendalikan opini kalian adalah kalian sendiri. Kalianlah yang memutuskan untuk menonton atau mendukung seri yang kalian rasa pantas didukung.

Dengan segala alasan yang sudah dijabarkan di atas, kami lebih menghargai kejujuran daripada objektivitas dalam memberi impresi dan penilaian. Kami berharap dapat menghadirkan sudut pandang dan penilaian yang menarik pada seri yang kami rasa patut untuk diketahui, baik karena seri tersebut sukses menyajikan konten yang berkualitas atau gagal dengan mengagumkan. Sebagai otaku kami juga dengan senang hati akan menyarankan seri yang berkualitas untuk kalian nikmati.

Untuk kami sendiri, artikel ini diharapkan dapat menjadi pengingat dan pedoman untuk bagaimana kami seharusnya membuat sebuah review. Berbagai statement di atas juga sayangnya masih berupa idealisme yang diusahakan dapat kami capai. Kami berharap dengan berjalannya waktu, berbagai peningkatan dan perbaikan untuk penulisan agar JOI dapat menjadi situs yang lebih berkualitas untuk segala informasi dunia otaku.

shimakonyatet

Berikut pendapat-pendapat singkat dari penulis kami tentang apa itu review dan cara mereka menulis review mereka masing-masing:

Kaptain

Karena saya sendiri yang menulis keseluruhan artikel ini, mayoritas pandangan saya sudah tertulis di atas. Berhubung saya banyak bicara tentang preferensi, bias, dan pengalaman, untuk segmen ini saya kurang lebih akan menjabarkan berbagai preferensi dan bias saya yang mempengaruhi penulisan sebuah review

Saya lebih menghargai seri yang mengerti tentang pergerakan cerita lewat sebab-akibat yang jelas daripada seri yang menganggap sesuatu yang kompleks sudah pasti berkualitas. Saya lebih suka dengan seri yang berdedikasi untuk membuat karakter, tema, dan/atau setting yang menarik dari awal daripada seri yang menyeret rasa penasaran kita dengan sebuah misteri yang seringkali payoff-nya tidak setimpal pada akhirnya. Saya lebih memuji sebuah klise yang dieksekusi dengan baik daripada premis orisinal yang pembuatnya sendiri tidak mengerti bagaimana menyampaikannya ke pemirsa. Do whatever you want, but make sure you do it well.

Namun begitu saya juga susah optimis dengan seri yang kelewat “aman” dan steril, seri yang konsep dan teknik pembuatannya sama sekali tidak ambisius dan kering kreativitasnya, seri yang sangat jelas dibuat sebuah komite berdasarkan data untuk mengurangi risiko dan tidak membiarkan para kreator berkreasi. Saya memberi seri semacam itu respek yang sama dengan sinetron pertelevisian lokal.

bukan_randy

Saya pribadi selalu menganggap sebuah review sebagai sebuah penceritaan dari “pengalaman” sang reviewer terhadap hal yang ia review; di mana ia menceritakan hal-hal yang ia sukai dan menarik baginya, dan hal-hal yang ia tidak sukai. Penceritaan tersebut kemudian juga ditopang dengan pengalaman, pengetahuan, dan preferensi dari sang reviewer itu sendiri. Dengan kata lain, ya, saya selalu menganggap sebuah review sebagai hal yang subjektif.

Sebuah review yang objektif adalah hal yang saya rasa hampir tidak mungkin bisa dibuat (atau malah benar-benar tidak mungkin). Tentunya tidak aneh kalau tiap orang yang menulis sebuah review memiliki pengalaman, pengetahuan, dan preferensi yang berbeda dengan penulis lainnya. Pengalaman dan pengetahuan memang hal yang penting, tapi seperti yang sudah ditulis Kaptain di atas, yang penting dari sebuah review adalah bagaimana cara sang reviewer mengekspresikan pengalamannya sehingga para pembaca bisa mengambil review-nya sebagai sebuah referensi.

Karena review adalah hal yang subjektif, tentunya hasil akhir (atau dalam kasus review JOI, “verdict”) dari sebuah review bukanlah fakta, tetapi opini. Sebuah opini yang bisa disetujui oleh orang lain dan bisa juga tidak disetujui oleh orang lain.

Bila sebuah review yang “objektif dan benar” itu benar-benar ada, maka untuk apa adanya reviewer lain selain penulis review yang “objektif dan benar” itu? Bila Anda menemukan sebuah review yang menunjukkan sebuah pendapat yang berbeda dengan Anda, apakah Anda akan menganggap review tersebut sebagai sebuah opini/sudut pandang berbeda dari orang yang memiliki pengalaman, pengetahuan, dan preferensi yang berbeda dengan Anda yang bisa didiskusikan/ditelaah lebih jauh? Ataukah Anda hanya akan sekadar bilang, “Ah ini review-nya jelek”?

Sedikit OOT, saya seringkali menemukan komentar “kalau sendirinya gak bisa bikin game/anime, gak usah ngritik!” ketika sedang membaca review-review negatif di internet (terutama di ranah  media sosial Indonesia). Tentunya argumen tersebut adalah sebuah fallacy, karena bila ada orang yang setuju dengan argumen tersebut, maka orang tersebut juga otomatis setuju dengan argumen seperti:
– kalau gak bisa bikin mobil/otomotif, berarti kamu ga boleh ngritik mobil/kendaraan transportasi yang kamu naikin itu jelek.
– kalau gak bisa masak, berarti kamu ga boleh ngritik masakan yang kamu makan itu gak enak.
– kalau gak pandai nyanyi/main alat musik, berarti kamu ga boleh ngritik musik yang lagi didengarkan itu jelek.

ricoricorii

Saya sendiri saat membuat review anime ataupun membuat first impression selalu membuat kerangka mengenai poin yang menarik dari anime tersebut. Poin tersebut bisa positif ataupun negatif tergantung preferensi pembaca. Misalnya jika saya bilang sebuah anime mempunyai perkembangan karakter yang kurang, bisa saja pembaca merasa bahwa poin tersebut positif buatnya karena preferensi dia yang tidak menyukai anime dengan perkembangan karakter yang terlalu banyak. Maka dari itu saya biasanya tidak membuat pernyataan bahwa poin A itu positif atau poin B itu negatif.

Saya setuju dengan pernyataan rekan-rekan saya di atas bahwa untuk membuat sebuah review anime objektif itu sangat sulit karena tidak mempunyai parameter yang bisa diukur. Lain dengan membuat review hardware komputer misalnya. Saya bisa membuat sebuah review objektif dengan melakukan benchmarking dan membandingkannya dengan produk sejenis. Sedangkan anime yang merupakan sebuah karya seni, sulit untuk melakukan pengukuran yang pasti. Saya tidak bisa bilang “animasi nya jelek!!” dan menganggap itu sebuah pernyataan objektif karena seperti yang saya bilang di atas: semua kembali ke preferensi masing-masing. Maka dari itu saya selalu melakukan verdict dengan kata-kata nyeleneh daripada memberi sebuah angka.

Signum

Bagi saya, review adalah sebuah rubrik di mana seorang penulis dapat mengeluarkan semua ekspresinya mengenai sebuah objek review. Harap perhatikan penekanan di bagian ekspresinya, artinya sebuah review itu adalah murni pendapat para reviewer-nya. Jadi pembaca bisa setuju atau tidak setuju terdapat pendapat tersebut. Everyone’s entitled to their own opinion after all.

Dalam membuat sebuah review, yang pertama saya perhatikan tentu poin-poin menarik dalam objek yang akan di-review. Apa yang menjadi kelebihan dan kelemahan paling menonjol mereka, dan bagaimana menyampaikannya dengan cara paling menarik dan menghibur. Tidak lupa memperhatikan alur dari setiap paragraf supaya dapat dibaca dengan enak tanpa menyakiti mata dan otak. Setelah itu, saya serahkan semua kepada tangan untuk menulis apa yang saya rasakan terhadap anime tersebut.

Namun harap diingat kalau apapun yang reviewer tulis bukan tuntutan supaya kamu menerima semua tulisan tersebut mentah-mentah. Reviewer juga manusia, kami bukan seorang diktator yang dapat memutuskan apa yang bisa kamu tonton dan tidak kamu tonton. Kami hanya merekomendasikan sesuatu (atau tidak) berdasarkan bagaimana kami melihat sebuah objek review yang dilandaskan oleh selera dan common sense kami. Most of the times, it involves our tolerancy level too.