Mangaka ‘Gantz’ Menjelaskan Kenapa Adaptasi Live-Action Kualitasnya Tidak Memuaskan

June 2, 2016 21:00
Mangaka ‘Gantz’ Menjelaskan Kenapa Adaptasi Live-Action Kualitasnya Tidak Memuaskan

Adaptasi live-action mungkin adalah salah satu jenis film yang paling sering keluar di bioskop-bioskop Jepang dewasa ini. Mengambil tema dari animemanga, atau light novel yang sudah ada, dan memampatkannya dalam durasi beberapa jam saja. Terkadang mereka juga mengadaptasi cerita dan karakter dari game, membuat para penggemarnya penasaran seperti apa filmnya.

Namun mengherankan, kenapa tidak banyak adaptasi live-action yang bisa dianggap bagus? Kenapa hanya sedikit adaptasi yang dapat membuat saya dapat membandingkannya dengan film-film blockbuster yang sering muncul di Hollywood? Kenapa adaptasi Shingeki no Kyojin menjadi sangat parah sekali hasilnya?

Namun siapalah saya, bikin manga profesional saja tidak, apalagi membuat filmnya. Namun mungkin orang yang satu ini lebih memiliki kualifikasi dalam menjawab pertanyaan tersebut. Hiroya Oku, mangaka dari seri Gantz berbicara mengenai kenapa seri live-action tidak pernah bisa memuaskan ekspektasi para penggemar, terutama penggemar source material mereka.

Kenapa semua adaptasi live-action yang menyedihkan dan terpaksa ini bisa dibuat? Karena kalau kamu mengambil sebuah seri yang sudah punya nama, berikan pemeran aktor yang ganteng, walaupun cerita dan lain-lainnya terasa ‘bodo amat’ tetap akan ada jutaan orang yang akan menontonnya. Dari tahap pertama pembuatannya saja, tidak ada (staf) yang memikirkan mengenai para penggemar berat seri tersebut. Kecuali ada lebih banyak uangnya, tidak ada yang akan membuat film seperti itu.

Walaupun begitu, dua seri Hiroya Oku sendiri juga sudah diadaptasi menjadi film live-action, saat ditanyakan mengenai keduanya dia menjawab:

Gantz dan I Am a Hero bukanlah sebuah adaptasi yang dipaksakan karena elemen realistisnya. Karakter utamanya orang Jepang, dan mereka juga difilmkan di Jepang, jadi pengambilan gambar juga bisa dilakukan sama seperti di dalam ceritanya. Mustahil rasanya untuk memproduksi sebuah film yang baik bila semuanya dipengaruhi dengan sudut pandang dunia fantasi shonen.

Walaupun banyak adaptasi live-action yang kurang memuaskan, tentu ada juga yang membuat banyak orang cukup puas. Trilogi Rurouni Kenshin adalah salah satu contoh adaptasi yang baik dan penonton pun cukup puas dengannya. Tapi hal tersebut pastinya selain film tersebut memiliki setting di Jepang, eksekusinya pun juga baik dan lebih realistis daripada seri Shingeki no Kyojin atau Ansatsu Kyoushitsu.

Tapi saya juga setuju dengan pendapat Hiroya Oku, mungkin bila mereka membuat film yang bisa memuaskan para penggemar, bisa-bisa budget mereka habis sebelum filmnya selesai. Jadi banyak sutradara yang mengikutsertakan sentuhan mereka sendiri dalam film buatannya. Hanya saja, tolong jangan buat jadi seperti live-action Shingeki no Kyojin lagi, ya.

Sumber: Rocketnews