Riset Jepang Menunjukkan 1 Dari 3 Pria Ditakdirkan Untuk Jomblo Selamanya

July 3, 2016 19:00
Riset Jepang Menunjukkan 1 Dari 3 Pria Ditakdirkan Untuk Jomblo Selamanya

“Fukuyama-san”, adalah seorang pria berusia 43 tahun yang mapan dan single. Bukannya dia tidak mau menikah, namun dia tidak bisa, atau tepatnya tidak punya kesempatan untuk itu. Padahal dia memiliki pekerjaan tetap dengan gaji 5 juta Yen per tahunnya. Alasannya adalah karena dia memiliki orang tua yang bergantung kepadanya, situasi yang umum terlihat di generasi paruh baya di Jepang. Kemungkinan untuk menikah sepertinya datang dan pergi begitu saja.

Orang tua dari Fukuyama cerai di usia senja, dan Fukuyama di umur 30 tahun harus mengurus rumah bersama dengan bapaknya. Pacar silih berganti, namun saat umurnya sudah matang, kesehatan bapaknya menurun. Pernikahan artinya menempuh jalan hidup baru bagi semua orang, dan pastinya Fukuyama tidak bisa meninggalkan bapaknya begitu saja.

Arti menikah sepertinya sudah berubah di Jepang, sebagai gambarannya pada tahun 2010 ada 20,1 persen pria dan 10,6 persen wanita yang menganggap dirinya “single selamanya.” Pada tahun 2020, angka untuk para pria dikisarkan akan menjadi 29 persen!

Keburu jadi om-om ganteng.

Keburu jadi om-om ganteng.

Majalah Spa! yang terbit tanggal 21 Juni mencari tahu sumber masalah ini dengan membuat survei miliknya sendiri. Mereka bertanya kepada 200 pria berumur 35-44 tahun, dan mendapatkan 61 persen responden ingin menikah di suatu saat di hidupnya, walaupun tidak harus cepat-cepat. Hanya 15 persen dari para responden yang memilih untuk tidak akan menikah, selamanya.

Masalah paling utama untuk pernikahan adalah masalah finansial, namun kasus Fukuyama di atas membuktikan mungkin uang bukanlah masalah utama. Tinggal dengan bapaknya, kini Fukuyama hidup dengan beban rumah yang kreditnya diambil bapaknya bertahun-tahun lalu. Namun hal itu sepertinya kecil bila mengingat apa yang harus dilakukan untuk bapaknya di masa mendatang, tagihan kesehatan, apakah perlu masuk panti jompo, dan masih banyak kemungkinan lain yang bisa membuatnya pusing dibanding pernikahan.

Masalah lainnya adalah para pekerja muda kali ini hidup di era dengan pertumbuhan ekonomi yang menurun. Tidak sedikit yang berkata kepada Spa!, “Kalau aku punya anak, aku tidak akan bisa memberikan mereka apa yang orang tuaku berikan padaku.” Dengan alasan tersebut, banyak yang memutuskan tidak perlu memiliki keturunan.

Contoh kasus lain adalah “Egawa-san”, 42 tahun, dia ganteng, supel, dan sukses. Penghasilannya mencapai 6 juta Yen per tahunnya. Dia juga punya banyak teman, dia senang untuk bergaul dan bertemu orang baru. Namun untuk masalah cinta, sepertinya tidak begitu. “Aku tidak suka dikekang,” menurutnya. “Dengan teman-temanku, aku bisa bersenang-senang. Tapi cinta tidak membawa apapun selain masalah.

Yang suka bikin orang bingung mau menikah atau tidak...

Yang suka bikin orang bingung mau menikah atau tidak…

Egawa tidak minum, dia juga tidak berjudi, dia bahkan tidak pernah ‘jajan’ di tempat-tempat mesum. Dia senang memasak dan tidak merasa kesepian bila masakan itu hanya untuknya. Dia bekerja untuk perusahaan penerbit yang sama sejak dia lulus kuliah 20 tahun lalu dan bahagia dengan pekerjaannya. Dia bisa menabung 50.000 Yen per bulan dan jauh dari kata miskin.

Memang setiap orang punya alasan masing-masing untuk menikah atau untuk memutuskan hidup sendiri dan bahagia dengan caranya masing-masing. Bukan hak orang lain untuk menentukan kapan seseorang harus menikah atau dengan siapa dia harus menikah. Setidaknya, keduanya harus sama-sama dewasa untuk memutuskan apakah mereka siap menjalani hidup bersama-sama.

Apakah kamu lebih nyaman hidup sendiri? Atau apakah kamu merasa butuh pasangan yang melengkapi hidupmu?

sumber: Japan Today

Sorry. No data so far.