Perdana Menteri Shinzo Abe Rencanakan Program Ekonomi untuk Menolong Kaum Hikkikomori

December 5, 2016 12:25
Perdana Menteri Shinzo Abe Rencanakan Program Ekonomi untuk Menolong Kaum Hikkikomori

Seperti yang kita ketahui bahwa di Jepang terdapat banyak hikkikomori dan telah menjadi permasalahan khusus yang harus cepat ditangani, oleh karena itu Shinzo Abe, perdana menteri Jepang telah menyiapkan rencana berupa program ekonomi untuk membantu hikkikomori agar dapat bekerja dan bersosialisasi layaknya warga biasa.

Hikkikomori yang telah menjadi momok untuk masyarakat Jepang ini dilatari berbagai faktor yang membuat seseorang menjadi hikkikomori. Salah satunya menimpa Nagisa Hirai, Hirai dulunya merupakan seorang gadis kecil yang aktif dan suka bermain sepak bola dengan para anak-anak laki-laki namun kebahagiaan tersebut hilang seketika pada hari pertamanya di sekolah dasar, dimana mendadak ia menjadi ketakutan setelah tidak bisa menemukan kelasnya.

nagisa hirai

Seiring waktu, ia menjadi hikkikomori. Dirinya menderita rasa kekhawatiran dan kecemasan untuk segala sesuatu yang asing bagi dirinya, bahkan melupakan keinginan untuk bersekolah karena hal itu akan menyebabkan kepanikan untuk dirinya dan ia pun jadi sering merasa tidak nyaman untuk pergi ke sekolah, walau orang tuanya telah berusaha memaksa dirinya untuk pergi ke sekolah.

Wanita berusia 30 tahun ini mengatakan bahwa sekarang ia telah sembuh, namun masih ada hari-hari dimana dirinya tidak bisa meninggalkan kamar tidurnya untuk bekerja paruh waktu di sebuah universitas.

Walau isu mengenai hikkikomori bukanlah hal yang baru, namun baru sekarang Shinzo Abe berencana untuk menggerakan mereka sebagai bagian dari langkah yang lebih luas untuk meningkatkan jumlah tenaga kerja di Jepang yang terus menua. Shinzo Abe bersumpah untuk menghentikan penurunan jumlah populasi Jepang sampai kebawah 100 juta orang dimana saat ini jumlah penduduk Jepang tercatat sekitar 127 juta orang dan semua anggota masyarakat memiliki kontribusi aktif untuk Jepang yang merupakan negara ketiga dengan ekonomii terbesar di dunia.

Tidak ada penyebab pasti fenomena hikkikomori, ini bisa datang dari berbagai faktor seperti faktor bullying di sekolah atau tempat kerja, atau tekanan dari orang tua atau anggota keluarga lainnya yang memaksa orang-orang tersebut menjalani ujian masuk atau wawancara kerja.

Pada kasus Hirai, dia ketakutan akan orang-orang dan merasa tidak enak karena tidak bisa pergi ke sekolah. Ia pun menderita anorexia ditengah waktunya bekerja paruh waktu saat SMA dikala ia bersusah payah menemukan solusi atas permasalahan yang menimpa dirinya, berat badannya turun hingga mencapai bobot 30kg.

“Saya harus menekan emosi saya dengan menahan nafsu makan saya,” ujar Hirai. Dimana dia harus keluar dan bertemu dengan orang-orang, karena bila tidak menghadiri kelas dan dikeluarkan dari sekolah sementara teman-teman sekelasnya lulus.

Hirai menerima bantuan dari Universitas Shure, sebuah lembaga nonprofit yang menyediakan ruangan tanpa tekanan untuk orang-orang seperti dirinya yang masih berkeinginan mendapatkan pendidikan. Ia telah menjalani itu selama 10 tahun dan berkata ia merasa lebih baik walau dia masih merasa tegang saat berada diantara orang-orang.

“Saya takut mengunci diri saya dan menjauhi masyarakat,” ucapnya mengenai rencana karirnya. “Yang terpenting bagi saya adalah hidup bersama dengan orang yang saya inginkan daripada melakukan sesuatu yang saya inginkan. Kedua orang tuaku telah tua sementara saya hanya lulusan SMP. Saya selalu emas bagaimana saya menjalani hidup saya.”

__original_drawn_by_masaki_smoothiepool__sample-46ecbacdc2b799fbe6d304cb918a4a9a

Kageki Asakura, anggota Universitas Shure, mengatakan kurangnya kepercayaan diri sendiri menjadi alasan kenapa banyak orang menjadi hikkikomori. Persepsi negatif kepada orang-orang yang drop out membuat situasi semakin buruk, ujarnya.

Hasil survei yang dilakukan pemerintah pada tahun 2014 menghasilkan bahwa generasi muda di tujuh negara seperti Jepang, Amerika dan Korea Selatan dimana Jepang menduduki menduduki peringkat terbawah dalam hal kepuasan hidup. Hanya 7.5% hanya mengatakan bahwa mereka puas.

Terdapat sekitar 541.000 orang dengan usia diantara 15 hingga 39 tahun atau sektiar 1.6% dari populasi pada kelompok usia tersebut yang diprediksi menjadi hikkikomori menurut laporan resmi yang dikeluarkan kantor Dewan pada bulan September lalu. Pemerintah mendefinisikan hikkikomori sebagai orang yang memilih tinggal di rumah dan menghindari interaksi dengan orang diluar anggota keluarga mereka selama kurang lebih 6 bulan.

Hikkikomori pun bisa menjadi tua dimana 53% hikkikomori di prefektur Shimane berusia 40 tahun ke atas, sementara di prefektur Yamagata terdapat 44% hikkikomori. Jumlah ini menimbulkan pertanyaan bagaimana orang tua para hikkikomori ini bisa membantu diri mereka sendiri saat kedua orang tua mereka meninggal dunia.

__kirisame_marisa_and_patchouli_knowledge_touhou_and_watashi_ga_motenai_no_wa_dou_kangaetemo_omaera_ga_warui_drawn_by_colonel_aki__sample-e62f23a7d98505b73214449ee404bbf4

Kebijakan yang tepat seperti bantuan finansial dan konseling akan mengubah hikkikomori menjadi tenaga kerja, ujar Eriko Ito, konsultan asal Nomura Research Institute Tokyo. Hal tersebut akan meningkatkan pengeluaran ekonomi dan mengurangi jumlah pengeluaran untuk jaminan kesejahteraan sosial.

“Kami harus merubah pemikiran kita untuk menolong mereka,” lanjut Ito. “Ini merupakan investasi, bukan pengeluaran.”

Setiap penerima dana kesejahteraan berubah menjadi pembayar pajak dimana itu menambah pemasukkan negara antara 78 juta Yen (sekitar 9,4 milyar rupiah) hingga 98 juta Yen (sekitar 11 milyar rupiah). Berdasarkan kalkulasi yang diambil dari data milik Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang.

Rencana pemerintah untuk menolong hikkikomori dan generasi muda lainnya yang kesusahan adalah dengan membuat mereka lebih mandiri. Telah disiapkan pusat konseling yang tersebar diseluruh Jepang, dimana tenaga bantuan ini akan mendatangi setiap hikkikomori untuk bisa meninggalkan rumah mereka. Tapi hal ini cukup sulit dimana lebih dari 65% persen hikkikomori dalam sebuah survei mengatakan mereka tidak tertarik kepada layanan seperti ini, sebagaimana mereka tidak dapat berkomunikasi dengan baik atau enggan orang lain menyadari keberadaan mereka.

“Kebijakan tenaga kerja yang dikeluarkan Abe justru memberikan tekanan kepada hikkikomori,” ujar Aso, seorang anggota organisasi non-profit. “Shinzo Abe ingin mereka menjadi hebat dan mendapatkan hasil yang hebat. Kenapa tidak membiarkan mereka mendapatkan kebahagiaan ketimbang hal-hal seperti itu?”

Sumber: Japantimes

Gambar: Pixiv (1,2)

Sorry. No data so far.