Mati Muda Sendirian Menjadi Kekhawatiran yang Serius di Jepang

February 2, 2017 19:00
Mati Muda Sendirian Menjadi Kekhawatiran yang Serius di Jepang

Sebuah kasus muncul di survei “Be Between” dalam koran Asahi Shimbun edisi 28 Januari. Seorang pegawai di usia 30 tahunan tidak pernah berkabar setelah 3 hari tidak masuk ke kantor. Perusahaannya kemudian meminta pengecekan ke tempat tinggalnya, namun sayang sang pegawai ternyata sudah meninggal karena terkena stroke.

Nikkan Gendai edisi 27 Januari melaporkan kalau fenomena “kodokushi” yang berarti “mati sendirian” biasanya diasosiasikan dengan para orang tua. Namun istilah tersebut kini semakin populer di antara para pemuda Jepang berusia 20-30 tahun. Menurut data dari Badan Kesejahteraan Sosial dan Kesehatan Publik Tokyo,  di distrik 23 tengah Tokyo saja, 238 orang berusia 20-30 tahun ditemukan meninggal tahun 2015. 80 persen diantaranya adalah pria, dan ditemukan mati sendirian. Angka rata-rata tahunannya mencapai sekitar 250 kematian dalam 3 tahun terakhir.

Beberapa wanita, kasus kematiannya biasanya terjadi saat ayah atau ibunya tidak bisa menelpon sang anak, kemudian tidak mendapatkan jawaban saat mereka membunyikan bel apartemennya. Setelah itu mereka meminta pemilik gedung untuk membukakan pintunya.

Profesor dari Universitas Dokkyo, Yasuhiro Yuuki menjelaskan salah satu faktor yang mendorong terjadinya fenomena ini. “Di antara faktor-faktor yang mengacu kepada mati sendirian di antara orang muda, banyaknya ‘freeters’, atau orang yang bekerja dengan kontrak, atau mereka yang dipekerjakan sebagai pembantu sementara menjadi salah satunya. Bahkan bila mereka tidak masuk kerja selama beberapa hari berturut-turut, perusahaan tidak akan memikirkannya. Melihat bagaimana mereka tidak peduli dengan pekerja non-tetap yang tidak bisa mengerjakan tugasnya karena keadaan fisik yang susah, rasanya mereka juga tidak peduli kalau pekerjanya mati.”

Hal lain yang membuat masalah ini adalah banyaknya orang dewasa yang hanya memiliki anak tunggal, dan orang-orang itu terbiasa hidup sendirian.” tambah Yuuki. “Orang lain merasa puas dengan hubungan yang dangkal saja. Mereka tidak pandai berkomunikasi, dan tidak aneh bila makin banyak anak muda yang tidak bisa menyampaikan perasaan, atau mencari bantuan dari orang lain. Pada awalnya, mungkin hanya masalah mereka tidak bisa membayar sewa apartemen, lalu pola makan menjadi tidak teratur dan hal ini mengacu kepada masalah kesehatan mereka, mereka tidak bilang apa-apa ke teman, apalagi pada keluarga.

Mereka yang tidak bisa mendapat pekerjaan dan penghasilan tetap juga adalah orang-orang yang mungkin harus mendapat perhatian medis. Yuuki mengingatkan para orang tua untuk berbicara kepada anak mereka yang bekerja sebagai ‘freeter’. Bila mereka tidak pernah membicarakan mengenai subjek “teman”, mungkin itu adalah salah satu tanda kalau anak mereka termasuk dalam grup yang kemungkinan akan mati sendirian.

Sumber: Japan Today
Gambar: Tofugu

Sorry. No data so far.