Mantan Sipir Penjara Jepang Menjelaskan Bagaimana Hukuman Mati Dilakukan

July 18, 2017 14:12
Mantan Sipir Penjara Jepang Menjelaskan Bagaimana Hukuman Mati Dilakukan

Beberapa waktu lalu Abema TV melakukan wawancara dengan Hirohiko Fujita, seorang pensiunan sipir yang sudah bekerja selama 33 tahun di lapas Osaka. Wawancara tersebut mengungkap bagaimana hukuman mati di negara yang terkenal memiliki tingkat kriminalitas yang rendah ini dijalankan.

Jepang tidak memiliki algojo konvensional sehingga hukuman mati dilakukan oleh para sipir. Fujita pada suatu hari diminta untuk “menunggu” bersama 4 sipir lainnya di ruang tunggu dan dipanggil satu demi satu ke kantor kepala sipir. Fujita menyadari bahwa ini merupakan tanda dia diminta melakukan eksekusi mati, sebuah tugas yang umumnya dibebankan untuk sipir yang kinerjanya kurang bagus.

“Saya itu pekerja keras, jadi saya tidak yakin diminta untuk melakukan eksekusi mati. Ada lima tombol yang digunakan untuk membuka platform dan menggantung terpidana mati dan hanya satu tombol saja yang terhubung dengan platform. Para sipir sendiri tidak tahu mana tombol yang benar, namun bila ada kerusakan ada tuas yang bisa digunakan untuk membuka langsung platform, dan tuas ini adalah tanggung jawab sipir yang paling bisa dipercaya dan pekerja keras seperti saya”

Terpidana mati yang menjadi tanggung jawab Fujita adalah pria berusia 70 tahun. Fujita sendiri penasaran kenapa pria yang umurnya tidak panjang ini harus dihukum mati. Setelah menyelidiki alasan hukuman mati ini, dia menemukan bahwa terpidana dirawat oleh seorang biksu sampai dia bisa memperbaiki hidupnya, dan terpidana membalas kebaikan biksu tersebut dengan memerkosa dan membunuh istri dan anaknya. Berkat informasi ini Fujita sudah tidak bimbang lagi dengan tugasnya.

Umumnya saat eksekusi mati disiapkan, terpidana mati diberi pengumuman dan waktu untuk mengucapkan perpisahan dengan orang yang dekat dengan mereka. Hanya saja saat ini eksekusi mati dilakukan tanpa pengumuman. Terpidana mati yang dibawa keluar oleh petugas umumnya sadar bahwa mereka berjalan ke rute yang tidak biasa, dan menyadari bahwa ini adalah hari terakhir mereka.

“Saat manusia menyadari mereka akan mati, mereka akan melakukan apapun untuk memperpanjang hidup mereka bahkan untuk semenit saja. Selama perjalanan terpidana berhenti untuk berterima kasih pada para sipir atas jasa mereka, dan para sipir umumnya hanya bisa diam karena tidak tahu apa yang harus dikatakan untuk pria yang akan mati dan berterima kasih pada mereka sambil menangis”

Setelah sampai di ruang interogasi, kepala sipir mengatakan pada terpidana bahwa hukuman mati akan dijalankan hari ini. Terpidana lalu diantar ke ruang eksekusi, dimana tali gantungan pada saat itu ditutup dengan tirai agar terpidana tidak panik. Di ruang tersebut sebuah altar untuk agama mereka disiapkan agar terpidana bisa bersiap-siap, sementara para sipir menunggu di ruang tombol.

hukuman mati jepang 01

Setelah terpidana selesai berdoa, mata terpidana ditutup dan kaki serta tangan mereka diikat. Setelah tali diikatkan terpidana diijinkan mengucapkan kata terakhir mereka dan para eksekutor harus menunggu sampai terpidana selesai bicara. Hal ini dilakukan agar terpidana tidak menggigit lidah mereka dan memberikan penderitaan yang tidak perlu.

“Karena badan sering berayun saat digantung, salah satu sipir umumnya ditugaskan untuk memegangi kaki terpidana agar badan tersebut stabil. Saat saya melakukan eksekusi, sipir yang lebih tua ditugaskan untuk memegang terpidana dan menolaknya dengan mengatakan ‘Tolong jangan buat saya melakukan hal ini. Saya sudah melakukan ini 10 kali. Cucu saya sudah cukup tua untuk melakukan hal ini.”

Setelah terpidana selesai berbicara eksekusi akhirnya dilakukan, sinyal diberikan dan para sipir menekan tombol bersamaan sebuah dentuman dapat terdengar saat platform terbuka dan terpidana digantung. Tergantung berat terpidana, kematian akan terjadi secara instan dan dia tidak sempat tercekik. Petugas medis lalu memeriksa jasad dan memastikan kematiannya. Kelima sipir memasukkan jasad tersebut ke peti mati dan mengirimnya ke kamar mayat, yang kemudian akan dikremasi.

hukuman mati jepang 02

Sipir yang terlibat diberikan 3000 Yen (Sekitar 350.000 Rupiah) dan makanan sebelum pulang. Fujita mengatakan bahwa tidak ada satupun orang yang berbicara dan menatap satu sama lain saat makan. Dia lalu menghubungi istrinya dan mengatakan dia akan pulang dengan garam di badannya, sebuah tradisi yang dilakukan orang Jepang saat bertemu dengan jasad.

“Istri saya bertanya tentang apa yang terjadi dan saya hanya bisa diam. Setelah itu saya tidak pernah ditanyakan tentang hal ini dan mengatakannya dengan orang lain. Ada semacam aturan bahwa tidak membicarakan kematian secara sepele dilakukan untuk menghormati mereka yang sudah mati. Sipir lain yang terlibat dengan eksekusi ini juga tidak pernah membicarakan eksekusi tersebut antara satu dengan yang lainnya.”

Fujita sendiri berharap kita akan bisa hidup di dunia yang tidak butuh hukuman mati. Hanya saja dari pengalamannya sebagai sipir, dia merasa mengharapkan terpidana untuk bertobat atau menyesal itu terlalu idealistik.

“Mengharapkan mereka bertobat itu terlalu idealistik. Hukuman mati hanya meminta mereka membayar kesalahan mereka dengan nyawa mereka, bukan meminta penyesalan. Mereka yang melakukan kejahatan yang membuat mereka terkena hukuman mati tidak memiliki jiwa yang normal, sehingga meminta mereka untuk menyesalinya itu tidak realistis dan terlalu kejam.”

Fujita sekarang berumur 70 tahun, dan ini adalah pertama kalinya dia membuka semua ini pada orang lain. Dia dapat mengingat dengan jelas kejadian tersebut dan mengakui sipir dapat terkena trauma akibat pekerjaan ini. Saat ditanyakan apa saran untuk generasi muda yang bekerja di profesi ini, Fujita mengatakan:

“Pekerjaan ini memang menyakitkan, namun hadapi dan percayalah kalian bisa melakukan tugas ini. Berharaplah juga pengalaman ini dapat berhenti menghantui kalian”

Sumber: Soranews

Sorry. No data so far.