Editor Jepang: “Kebanyakan Penulis LN Tidak Bisa Menulis”

February 20, 2018 14:51
Editor Jepang: “Kebanyakan Penulis LN Tidak Bisa Menulis”

Banyaknya output dari judul light novel akhir-akhir ini adalah berkat praktik industri untuk merekrut penulis web novel populer dari situs seperti Narou dan mempublikasikan karya mereka sebagai buku cetakan. Tentunya hal ini dilakukan setelah WN tersebut direvisi agar memenuhi standar publikasi. Untuk kalian yang sudah melihat kualitas penulisan WN pada umumnya, tentunya kalian bisa melihat bahwa proses pemenuhan standar ini bukan hal yang mudah.

Lewat wawancaranya dengan majalah Nikkan Cyzo, seorang editor anonim mengungkap masalah utama dari praktik ini. Memang kesempatan untuk mendapatkan kontrak publikasi itu memotivasi banyak orang untuk menulis dan penerbit juga mendapatkan karya yang sudah memiliki fans dari awal, hanya saja sang editor melihat peningkatan dari “penulis yang bukunya tidak bisa memenuhi standar publikasi, tidak peduli seberapa banyak revisi yang diberikan”.

Editor tersebut mengaku pernah mengirim naskah dengan banyak permintaan revisi ke penulis, hanya saja setelah sebulan menunggu hanya sedikit revisi yang dikerjakan. “Naskah versi WN dibuat dengan seluruh bakat dan usaha mereka, tidak mungkin kualitasnya bisa menjadi lebih baik untuk publikasi”.

Tentunya publikasi memerlukan naskah untuk dicetak dengan deadline yang sudah ditentukan, sehingga “penulisnya tidak becus” itu alasan yang sulit ditolerir untuk meminta perpanjangan waktu, “Jadi revisi sepenuhnya dikerjakan editor” kata editor tersebut. Melihat semakin meningginya kuantitas publikasi LN dengan praktik ini, jumlah seri yang sepenuhnya dikerjakan editor juga bertambah.

Tentunya nama editornya tidak dicantumkan di sampul bukunya walapun dia yang mengerjakan mayoritas ceritanya, editor tersebut mengungkap bahwa dia pernah mengalami kasus dimana “Penulisnya menyerah, jadi saya yang menulis 200 halamannya”. Sekedar info saja 200 halaman itu jumlah halaman rata-rata untuk satu volume LN, jadi pernyataan bahwa dia mengerjakan keseluruhan buku sendirian itu bukan hiperbola.

Tugas dari editor adalah menjadi pembaca pertama dari sebuah naskah dan berusaha meningkatkan kualitas naskah tersebut. Hanya saja melihat mayoritas pengerjaannya itu dibebankan ke editor dan namanya tidak ada di buku yang sudah dicetak, hal ini sangat memberatkan semangat kerja editor. “Ada LN yang sepenuhnya dikerjakan editor, namun royaltinya sepenuhnya diterima penulis. Hal ini sangat menyebalkan” tutupnya.

Menulis dengan pemikiran bahwa “semua yang salah nanti dibenerin editor” adalah cara terbaik untuk membuat editor marah. Apalagi dengan fakta bahwa beberapa karya WN itu kualitasnya sangat buruk hingga tidak bisa diperbaiki lagi tanpa ditulis ulang secara total dan penulisnya kemungkinan besar melakukannya sebagai hobi dan tanpa rencana progresi cerita yang jelas. Menulis cerita dari nol itu sulit, namun dituntut untuk membuat cerita dari fondasi yang rusak dari awal tanpa imbalan yang setimpal itu neraka untuk editor manapun.

Mungkin ada argumen bahwa sang editor lebih baik menulis cerita sendiri saja, namun tidak peduli apa medianya sebuah ide yang menjual itu susah diprediksi. Situs web novel itu adalah sumber beragam ide dan premis menarik yang sudah punya basis fans sehingga ada jaminan pembeli dan marketing dari word of mouth fans awal, hanya saja eksekusi ide serta prospek serialisasinya itu nampaknya bukan aspek yang terlalu dipedulikan para penulis baru.

Sumber: Soranews

Sorry. No data so far.